(Kisah Orang-orang Dulu dan Sekarang di Kutai)
Kalimantan, disebut juga
Borneo. Dulu terkenal dengan sebutan Zamrud Katulistiwa. Karena hutannya yang
lebat dan hijau. Pulau ini merupakan bagian dari Paparan Sunda (Sunda Plate).
Pulau ini memiliki rangkaian pegunungan di daerah perbatasan antara Indonesia
dan Malaysia tetapi di pulau ini hampir tidak ada aktivitas gunung merapi
(vulkanik). Di sebelah barat Kalimantan berbatasan dengan Serawak,
Malaysia. Di sebelah Timur (Kalimantan Timur) berbatasan dengan Sabah,
Malaysia.
Kalimantan Timur merupakan
salah satu karesidenan dari Provinsi Kalimantan. Sesuai dengan aspirasi
rakyat, sejak tahun 1956 wilayahnya dimekarkan menjadi tiga provinsi, yaitu Kalimantan
Timur, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat. Kemudian Kalimantan Selatan
dimekarkan menjadi Kalimantan Tengah.
Berdasarkan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah,
maka Kalimantan Timur dibentuk 2 Kota dan 4 kabupaten, yaitu:Kabupaten Kutai Barat, beribukota di Sendawar,
Kabupaten Kutai Timur, beribukota di Sangatta,
Kabupaten Malinau, beribukota di Malinau, Kabupaten Nunukan, beribukota di Nunukan, Kota Tarakan (peningkatan kota administratif Tarakan
menjadi kotamadya), Kota Bontang (peningkatan kota
administratif Bontang menjadi kotamadya). Lalu berdasarkan pada Peraturan
Pemerintah nomor 8 tahun 2002, maka Kabupaten Pasir mengalami pemekaran dan
pemekarannya bernama Kabupaten Penajam Paser
Utara.. Pada tanggal 17 Juli 2007, DPR RI sepakat menyetujui berdirinya Tana Tidung sebagai kabupaten baru di
Kalimantan Timur, maka jumlah keseluruhan kabupaten/kota di Kalimantan Timur
menjadi 14 wilayah. Pada tahun yang sama, nama Kabupaten Pasir berubah menjadi Kabupaten Paser berdasarkan PP No. 49 Tahun 2007.
Kalimantan Timur memiliki
banyak sungai. Salah satunya sungai Mahakam. Sungai dengan panjang sekitar 920
km ini melintasi wilayah Kabupaten Kutai Barat di bagian hulu, hingga Kabupaten
Kutai Kartanegara dan Kota Samarinda
di bagian hilir. Di sungai ini
hidup spesies mamalia ikan air tawar yang terancam punah,
yakni Pesut Mahakam. Sungai Mahakam sejak dulu hingga saat
ini memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat di sekitarnya sebagai sumber
air, potensi perikanan maupun sebagai prasarana transportasi.
Kisah ini tidak terlepas dari
sungai Mahakam. Banyak penduduk bermukim di sekitar pinggiran sungai ini. Mulai
dari Kota Samarinda sampai ke hulu sungai Mahakam. Istilah hulu untuk
menunjukkan arah menuju pangkal sungai. Sedangkan sebutan hilir untuk
menunjukkan ke arah muara sungai. Ada istilah “Loa” bila menyusuri sungai dari
Samarinda sampai Tenggarong. Ada Loa Buah, Loa Bakung, Loa Janan, Loa Duri dan
Loa Tebu. Selain itu bila kita ke pertengahan Kutai Kartanegara sampai ke Kutai
Barat ada istilah “Muara”. Ada Muara Kaman, Muara Muntai, Muara Wis, Muara Pahu
dan Muara Bengkal. Juga ada istilah “Long” bila kita menyusuri lebih ke hulu
lagi, yaitu : Long Bagun, Long Pahangai dan Long Apari. Daerah sungai dengan
sebut Long ini sungainya kecil dan tidak dalam. Banyak bebatuan, sering disebut
dengan jeram. Airnya deras. Bila musim kemarau, sungainya bisa disebrangi
dengan jalan kaki. Bila musim hujan, bisa banjir. Kadang ada istilah banjir
kiriman. Bila di hulu hujan lebat, di hilir tidak hujan, daerah hilir kena
banjir. Apalagi penambangan dan penebangan hutan merajalela. Tinggal sedikit
daerah serapan air.
Daerah hilir bila musim hujan,
airnya kadang keruh. Warna kecoklatan. Kayak air teh dicampur susu kental
manis. Juga dipinggir sungai kebanjiran rumput kumpai dan elong (sejenis enceng
gondok). Bila musim kemarau, airnya bening. Sungai kelihatan bersih. Tapi
kadang juga airnya berwarna merah bata. Orang hulu menyebutnya “bengar atau
bangai”. Biasanya banyak udang dan ikan yang bermunculan di permukaan.
Kesempatan penduduk di pinggir sungai panen ikan dan udang.
Sore hari. Nun jauh di hulu
sungai Mahakam, tepatnya di Pinang Sendawar, Melak Kutai Barat, tampak seorang
remaja tanggung sedang memancing. Orang Kutai menyebut memancing dengan
istilah“mapas”. Remaja yang bernama Panji ini cukup tampan. Tingginya sekitar
155 cm. Cukup besar untuk ukuran remaja seusianya. Hidung mancung, mata agak
besar dengan warna bola kecoklatan. Kulit putih. Rambut lurus agak pirang.
Kayak orang bule. Orang-orang tua di situ menjulukinya “urang belende”.
Maksudnya orang Belanda yang pernah menjajah Indonesia selama 350 tahun. Baju
remaja itu berwarna hijau, kelihatan lusuh dan ada sobekan kecil di kantong
baju. Sementara celana pendek warna coklat yang dipakainya juga sudah kusam.
Dia asyik duduk di atas batang besar. Batang ini ada tiga buah. Di atas batang
ada bangunan dari papan berbentuk kotak dan beratap daun. Disebut jamban.
Batang dan Jamban disebut pian. Disinilah biasanya penduduk buang air,
mandi dan mencuci.
Di seberang sungai tampak dua
ekor bekantan sedang asyik mencari kutu sambil duduk di atas dahan pohon
prupuk. Pohon ini banyak hidup di pinggiran sungai Mahakam. Bekantan merupakan
satu dari dua spesies anggota Genus Nasalis. Sebenarnya Bekantan terdiri atas
dua subspesies yaitu Nasalis larvatus larvatus dan Nasalis
larvatus orientalis. Nasalis larvatus larvatus terdapat dihampir
seluruh bagian pulau Kalimantan sedangkan Nasalis larvatus orientalis
terdapat di bagian timur laut dari Pulau Kalimantan.
Binatang yang oleh IUCN
Redlist dikategorikan dalam status konservasi “Terancam” (Endangered)
merupakan satwa endemik pulau Kalimantan. Kategori Status konservasi
IUCN Red List merupakan kategori yang digunakan oleh IUCN (International
Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) dalam
melakukan klasifikasi terhadap spesies-spesies berbagai makhluk hidup yang
terancam kepunahan. Dari status konservasi ini kemudian IUCN
mengeluarkan IUCN Red List of Threatened Species atau disingkat IUCN
Red List, yaitu daftar status kelangkaan suatu spesies termasuk bekantan.
Satwa ini juga dijadikan maskot (fauna identitas) provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan
Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan No. 29 Tahun 1990 tanggal 16
Januari 1990. Selain itu, satwa ini juga menjadi maskot Dunia Fantasi Ancol. Bekantan memiliki ciri-ciri khusus.
Yang jantan dengan cirri hidung panjang dan besar. Fungsi dari hidung besar
pada bekantan jantan masih tidak jelas, namun ini mungkin disebabkan oleh
seleksi alam. Bekantan betina lebih memilih jantan dengan hidung besar sebagai
pasangannya.
Mungkin
jika dikaitkan dengan teori evolusi yang digagas Prof. Darwin, maka
bekantan ini yang cocok mbahnya manusia. Karena menurutnya, manusia berasal
dari kera. Paling tidak, bekantan ini mirip Profesor itu sendiri.
Bekantan termasuk binatang yang dilindungi. Karena jumlahnya sedikit..
Mulai punah. Yang banyak jenis monyet lain yaitu kera. Orang disini menyebutnya
“kode”, “bero’” dan ada juga lutung. Kode dan bero’ itu hidung pesek, tapi
warna bulu agak coklat muda. Beda kode dengan bero’ pada ekor dan badannya.
Bero lebih pendek ekornya, tubuh lebih besar. Sedang lutung, hidungnya
biasa tapi bulu hitam keputih-putihan. Baik bekantan, kode, bero’ maupun
lutung hidup dari buah-buahan dan daun-daunan (hewan herbivora) yang ada di
sekitar pinggiran sungai maupun di hutan. Kerap kali juga “mbahnya Darwin”
mencuri kebun para petani. Sehingga para monyet ini dianggap hama
oleh penduduk.
Kembali ke remaja tadi. Panji
masih serius memancing.. Tiba-tiba tangan kanannya secara reflek bergerak ke
atas. Ternyata pancingnya menukik ke dalam air. Dipatuk ikan. Tangan kirinya
menarik benang nilon. Beberapa saat kemudian tampak air beriak dan
bergelombang. Dari permukaan air itu muncul seekor ikan puyau yang cukup besar.
Mata pancing hanya lengket sedikit di insang ikan. Tahu akan hal ini dengan
cepat remaja itu menangkap badan ikan puyau itu. Orang
Kutai menyebut ikan dengan sebut “jukut”. Banyak jenis ikan tawar di sungai
Mahakam. Yang paling besar, ikan pesut dan yang paling kecil ikan bilis. Yang
banyak ikan salap, seluang dan puyau. Ada juga ikan patin, baung, lais, haruan,
sepat, jelawat dan biawan.
“Alhamdulillah, lumayan”,
Gumam remaja itu seraya memasukkan ikan puyau ke dalam ember yang ada
disampingnya. Ember yang ada agak kecil. Warnanya merah buram. Orang sini
menyebut ember dengan “timbe”. Lalu tangan kiri remaja itu mengambil mata
pancing dan mengaitkan seekor cacing. Tampak cacing menggeliat. Tidak ikhlas
dirinya disangkutkan ke mata pancing. Tapi belum sempat remaja itu melempar
mata pancing ke sungai, tiba-tiba …
“Kroek, kroek, kroek” Dua
Bekantan teriak-teriak sambil meloncat-loncat di atas dahan.. Matanya tertuju
ke arah hilir sungai. Remaja itupun kaget. Matanya menatap ke arah hilir
sungai. Tampak ada gelombang besar. Batang-batang jamban yang ada di hilirnya
bergerak kesana-kemari.
“Bras, bras, bras”, Bunyi
hempasan ombak yang beradu dengan pinggiran sungai (orang Kutai
menyebutnya dengan siring tebes). Biasanya ada kapal besar yang lewat. Namun
ini, kapal belum kelihatan, tapi sudah ada gelombang. Aneh! Tidak lama kemudian
muncul sebuah kapal besar. Depannya berbentuk kepala naga. Buritannya berbentuk
ekor naga. Warnanya hijau tua. Jika di lihat dari jauh seperti ular yang
berbadan pendek. Anehnya lagi kapal ini tidak terdengar bunyi mesin. Tapi
tampak asap mengepul dari arah buritan kapal. Ternyata kapal ini memakai bahar
bakar batu bara.
“Subhanallah”, Ucap
Panji kagum. Matanya memplototi kapal yang kini ada dihadapannya. Selama
ini dia tidak pernah melihat kapal se antik ini. Dia termangu. Mulutnya
ternganga. Mata pancing yang masih di tangannya terjatuh.. Masuk ke dalam air.
Sementara itu kapal merapat ke
batang jamban dimana Panji berada. Kemudian pelan-pelan dinding kapal terbuka.
Tampaklah para penumpang yang banyak sekali. Mungkin sekitar 100 orang. Ada
banyak laki-laki tua dan perempuan. Ada juga remaja putera dan puteri seusia
Panji. Selain itu ada beberapa anak kecil dan bayi yang berada di pangkuan ibunya.
Mata mereka semua tertuju ke arah Panji. Heran!
“Hai! Nganak! Apa nama kampung
ini? Tanya orang tua dengan nada tinggi ke Panji. Orang itu berkulit hitam
legam. Rambut lebat, kriting. Hidung mancung. Kumis tebal. Dia sambil
berjongkok disisi kapal. Matanya yang bagai elang menatap tajam ke arah Panji.
Remaja ini tampak kurang senang. Diceukinnya pertanyaan tadi. Digulungnya nilon
pancing. Seolah-olah tidak ada yang didengarnya. Dia ambil ember dan mau
beranjak dari situ. Namun…
“Nganak! Tuli yo kau!? Orang
tua tadi tidak hanya mengeluarkan kata-kata, tapi dari arah telapak tangannya
yang kiri berhembus sebuah tenaga di arahkan ke Panji. Tenaga itu mengandung
hawa dingin yang luar biasa. Bak salju. Rupanya orang tua ini kesal. Marah. Dia
merasa dicuekin.
“Jengan bepa!” Dari arah
buritan kapal terdengar teriakan. Panji dan orang tua itu sama-sama menoleh ke
buritan kapal. Di sisi kapal tampak seorang remaja puteri dengan wajah cemas. Dari
mulutnya yang mungil itu keluar larangan ke ayahnya untuk tidak menghajar
Panji. Berbeda dengan ayahnya, remaja puteri ini berkulit kuning langsat.
Rambut hitam lurus, panjang sebahu. Hidung mancung. Matanya bening ke
biru-biruan. Cantik.
Cukup beralasan puteri itu
melarang ayahnya. Tenaga dalam yang ditujukan ke Panji bisa mencelakakan siapa
saja. Tidak pandang bulu. Apalagi remaja seusia Panji.. Badan bisa beku. Tapi
nasi sudah menjadi bubur. Tenaga itu sudah dilepaskan.
“Awas!” teriak orang-orang yang
ada di kapal.
Panji yang dituju tampaknya
sudah siap menerima serangan. Ketika tinggal sejengkal lagi tenaga itu mengenai
dirinya, dia disambut hanya dengan sebuah tarikan napas. Kemudian dihembuskan.
Tampak asap kemerah-merahan keluar dari mulutnya. Ada hawa panas. Tenaga itupun
buyar! Bagaikan salju yang berguguran.
Betapa kagetnya orang tua itu.
Wajahnya merah padam. Tambah marah. Selain itu malu! Masa’ kalah oleh anak
kemarin sore. Apalagi. tadi tenaganya hampir penuh dilepaskan. Orang
dewasa saja sulit menghindarinya. Ini masih remaja dengan mudah merontokkan
tenaganya. Lalu kembali dia menarik napas sambil mata terpejam. Tangan kirinya
diangkat. Dari telapak tangan muncul asap berwarna kemerah-merahan. Bagai
kobaran api. Dahsyat!
“Jengan bepa!! Kembali
puterinya berteriak melarang. Tapi teriakan itu tidak digubris. Telapak
tangannya langsung di arahkan ke Panji. Apa mau dikata? Bila emosi menguasai
diri, maka syetanlah temannya. Lambang dari syetan adalah api. Asal muasal
penciptaannya. Marah adalah api. Kobarannya akan sirna bila disiram dengan air.
Untuk itulah Nabi Muhammad SAW pernah bersabda : “apabila kamu marah, maka
bersegeralah berwudhu”. Dengan cara ini kita mengenakan air di anggota wudhu.
Baik ketika membasuh maupun mengusap. Subhanallah!
“Astaghfirullah”, dari
kejauhan terdengar secara jelas ucapan ini. Yang mengucapkan belum kelihatan
batang hidungnya. Tapi ajaib! Serangan orang tua tadi hilang begitu saja. Orang
pemarah ini ta’jub. Mulut ternganga. Seumur-umur belum pernah ada yang mementahkan
serangannya hanya dengan suara. Namun tak lama kemudian…
“Nek Silu!”, Teriak
Panji.sambil tersenyum. Senang. Dia kenal betul suara tersebut.
“Nek Silu!!!”, Orang-orang
yang di dalam kapal juga teriak. Kaget. Sementara orang tua tadi mukanya berubah
pucat pias. Kayak mayat. Matanya menatap sendu ke sosok wanita yang ada di
depannya. Baru saja dia dan para orang di situ mendengar ucapan si nenek. Luar
biasa tenaga dalamnya! Dalam hati orang tua ini memuji sosok wanita
dihadapannya. Pantas menjadi legenda rakyat Kutai. Ya, siapa yang tak kenal
Silu. Seorang wanita yang sudah hidup ratusan tahun yang lalu. Orang-orang tua
di Kutai menyebutnya “orang jenang”. Artinya orang zaman dahulu kala. Tapi
badan berisi. Itu terlihat di balik baju kebayanya warna biru. Tidak tua renta.
Kulit kuning langsat. Halus dan lembut. Hidung mancung. Garis-garis kecantikan
masih terlihat di wajah beliau. Rambutnya ditutup sebuah selendang biru.
Bibirnya membentuk senyum semetris.
Nek Silu nama lengkapnya
“Sinar Tri Sakti Berdaya”. Nama ayahnya Sultan Berdaya. Seorang penguasa
kerajaan Panang, hulu sungai Kahala. Ibu beliau seorang selir. Saat ini masuk
wilayah Kecamatan Kenohan. Beliau memiliki tiga saudara. Kakaknya bernama
“Sinar Panca Sakti Berdaya”. Terkenal dengan sebutan “Ayus”. Sedangkan adiknya
bernama “Sinar Dwi Sakti Berdaya”. Panggilan sehari-hari “Ongo”. Nama-nama yang
melekat pada mereka berkaitan dengan kekuatan yang dimiliki. Nek Silu dengan
sebut “Sinar Tri Sakti Berdaya” karena mampu mengolah tiga unsur alam yaitu
air, api dan udara sebagai kesaktian. Begitu juga Ayus punya lima kesaktian
pada air, api, udara, tanah dan petir. Ongo sakti meramu dua unsur yaitu
angin dan hujan. Menurut kabar, Ayus berdiam di pegunungan Meratus. Sedangkan
Ongo di gunung Padai, wilayah Berau.
“Maafkan cucuku, den sanak”,
ucap nek Silu dengan suara lembut sambil tersenyum menatap orang tua
tadi. Perkataan nek Silu ini sudah menggambarkan betapa luhurnya budi pekerti
beliau. Bayangkan ! Cucu mau disakiti orang. Malah beliau yang minta maaf.
Benar-benar luar biasa! Ditambah lagi dengan sapaan “den sanak”. Sapaan ini
untuk menunjukkan persaudaraan yang sangat dekat.
Mungkin beliau itu mewarisi
sifat dan sikap Nabi Muhammad SAW. Pernah Nabi kita ini berdakwah ke Thoif,
suatu daerah yang subur sekitar 80 km dari kota Mekkah. Tetapi di daerah ini
dakwah beliau disambut dengan hujanan batu dari penduduk. Nabi terluka.
Malaikat Jibril menawarkan balasan. Sebuah gunung akan diangkat oleh Jibril dan
dilemparkan ke penduduk Thoif. Apa kata utusan Allah ini : “Jangan lakukan itu
karena mereka belum tahu apa yang saya sampaikan, saya mohon agar Allah
memberikan hidayah kepada mereka”. Subhanallah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar